Kisah Hidup Pramoedya Ananta Toer

Kisah Hidup Pramoedya Ananta Toer

Kisah Hidup Pramoedya Ananta Toer – Pramoedya Ananta Toer, juga dieja Pramudya Ananta Tur, (lahir 20 Februari 1925, Blora, Jawa, Indonesia meninggal 30 April 2006, Jakarta, Indonesia) merupakan novelis Jawa dan penulis cerpen, penulis prosa terkemuka Indonesia pasca-kemerdekaan.

Pramoedya, putra seorang guru sekolah, pergi ke Jakarta ketika masih remaja dan bekerja sebagai juru ketik di sana di bawah pendudukan Jepang selama Perang Dunia II. Pada tahun 1945, pada akhir perang, ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan memberontak melawan pemerintahan kolonial Belanda yang baru, ia bergabung dengan kaum nasionalis, bekerja di radio dan memproduksi majalah berbahasa Indonesia sebelum ia ditangkap oleh otoritas Belanda pada tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya yang diterbitkan, Perburuan (1950; The Fugitive), selama masa dua tahun di sebuah kamp penjara Belanda (1947-1949). Pekerjaan itu menggambarkan penerbangan seorang pemberontak anti-Jepang kembali ke rumahnya di Jawa. sbobet338

Kisah Hidup Pramoedya Ananta Toer

Setelah kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda pada tahun 1949, Pramoedya menghasilkan aliran novel dan cerita pendek yang membangun reputasinya. Novel Keluarga gerilja (1950; “Keluarga Gerilya”) menceritakan konsekuensi tragis dari simpati politik yang terpecah dalam keluarga Jawa selama Revolusi Indonesia melawan pemerintahan Belanda, sementara Mereka jang dilumpuhkan (1951; “The Paralyzed”) menggambarkan bermacam-macam tahanan yang aneh. Pramoedya berkenalan di kamp penjara Belanda. Cerita-cerita pendek yang dikumpulkan di Subuh (1950; “Dawn”) dan Pertjikan revolusi (1950; “Sparks of Revolution”) diatur selama Revolusi Indonesia, sementara yang di Tjerita dari Blora (1952; “Tales of Bora”) menggambarkan provinsi Jawa hidup di masa pemerintahan Belanda. Sketsa-sketsa di Tjerita dari Djakarta (1957; “Tales of Jakarta”) memeriksa ketegangan dan ketidakadilan yang dirasakan Pramoedya dalam masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan dicapai. Dalam karya-karya awal ini Pramoedya mengembangkan gaya prosa yang kaya yang menggabungkan bahasa Jawa sehari-hari dan gambar-gambar dari budaya Jawa klasik. taruhan bola

Pada akhir 1950-an Pramoedya menjadi simpatik terhadap Partai Komunis Indonesia, dan setelah 1958 ia meninggalkan fiksi untuk esai dan kritik budaya yang mencerminkan sudut pandang sayap kiri. Pada 1962 ia menjadi sangat dekat dengan kelompok budaya yang disponsori komunis. Akibatnya, ia dipenjara oleh tentara dalam penindasan berdarahnya terhadap kudeta komunis pada tahun 1965. Selama dipenjara, ia menulis serangkaian empat novel sejarah yang semakin meningkatkan reputasinya. Dua di antaranya, Bumi manusia (1980; Bumi Manusia) dan Anak semua bangsa (1980; Anak Bangsa), mendapat sambutan kritis dan populer di Indonesia setelah publikasi mereka, tetapi pemerintah kemudian melarang mereka untuk diedarkan, dan dua volume terakhir tetralogi, Jejak langkah (1985; Footsteps) dan Rumah kaca (1988; House of Glass), harus diterbitkan di luar negeri. Karya-karya terakhir ini menggambarkan secara komprehensif masyarakat Jawa di bawah pemerintahan kolonial Belanda pada awal abad ke-20. Berbeda dengan karya-karya Pramoedya sebelumnya, mereka ditulis dalam gaya naratif yang serba cepat. americandreamdrivein.com

Setelah dibebaskan dari penjara pada tahun 1979, Pramoedya ditahan di bawah tahanan rumah di Jakarta sampai tahun 1992. Autobiografi Nyanyi sunyi seorang bisu (The Mute’s Soliloquy) diterbitkan pada tahun 1995.

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer, salah satu cendekiawan Indonesia terkemuka dan penulis terkenal dari lebih dari tiga puluh karya fiksi yang bermuatan politik, seringkali tampak lebih luar biasa daripada kisah-kisah yang ia ciptakan. Buku-buku Pramoedya dan politik yang blak-blakan membuatnya dipenjara selama 15 tahun, pertama oleh penjajah Belanda kemudian oleh pemerintah Soeharto.

Membaca karya Pramoedya Ananta Toer adalah mengikuti perjuangan politik Indonesia melalui penjajahan dan rezim otoriter pascakolonial. Karya-karyanya yang paling terkenal adalah empat novel yang secara kolektif dikenal sebagai The Buru Quartet. Novel-novel, Bumi Umat Manusia ini, Anak Semua Bangsa, Langkah Kaki dan Rumah Kaca, mengikuti kehidupan seorang raja kecil Jawa yang bernama Minke dan penghinaan yang ia alami ketika negaranya mengalami penjajahan. Penuh dengan sejarah dan pengalaman pribadi, karya Pramoedya membahas tentang diskriminasi yang dialami di bawah pemerintahan kolonial melalui penggambaran intim kisah-kisah individu.

Kisah Hidup Pramoedya Ananta Toer

Asal-usul cerita-cerita ini adalah prestasi luar biasa dalam diri mereka sendiri ketika mereka selesai selama 15 tahun penahanan Pramoedya. Pramoedya sudah menjadi penulis mapan sebelum dipenjara dan itu adalah pekerjaan politiknya yang semakin kritis yang membawanya menjadi target pemerintah. Dengan demikian, para penculiknya secara khusus menyangkal dia menulis alat sebagai bagian dari hukumannya. Tidak gentar, dan takut dia tidak akan pernah lagi bisa menulis, Pramoedya menyusun tetralogi-nya secara lisan, menceritakan kisah itu dengan angsuran kepada audiensi sesama tahanan, selama satu setengah dekade penjara. Mengingat keadaan di mana Pramoedya menciptakan cerita-cerita ini, ada kritik yang berbeda terhadap rezim Soeharto yang tersirat dalam tulisan-tulisan ini. Sementara novel-novel tersebut mengeksplorasi aspek-aspek kemanusiaan yang lebih gelap, pesan Pramoedya pada akhirnya adalah pesan yang positif, keyakinan pada belas kasih, martabat, dan potensi manusia untuk kebesaran dalam menghadapi kesulitan yang luar biasa.

Meskipun Pramoedya dibebaskan pada tahun 1979, baru pada tahun 1999 pencabutan dan larangan perjalanannya dicabut. Sejak saat itu hingga kematiannya pada tahun 2006, Pramoedya tanpa henti menulis dan mengajar di seluruh dunia, mendapatkan pengakuan internasional sebagai tokoh sastra dan aktivis politik. Buku Exile (2006) adalah wawancara panjang yang dilakukan Pramoedya dengan wartawan André Vitchek dan Rossie Indira selama tahun-tahun terakhir hidupnya ketika ia tidak lagi dapat menulis sendiri. Wawancara ini bertindak sebagai otobiografi penulis Indonesia dan memberikan wawasan mendalam tentang kehidupan tokoh luar biasa ini dan karya-karya yang ia ciptakan dalam menghadapi penyensoran, pemenjaraan, dan pengasingan.

Dia belajar mengetik dan stenografi yang memungkinkannya mendapatkan pekerjaan juru tulis untuk kantor berita kekaisaran Jepang, Domei, yang berbasis di Jakarta. Pada saat itulah ia bersentuhan dengan aktivis nasionalis dan anti-kolonial.

Setelah ia dibebaskan dari penjara pada tahun 1949, Pramoedya mulai menulis buku dengan subur dan muncul sebagai novelis yang disegani. Kecewa dengan Indonesia pasca-revolusioner, ia mulai tertarik pada politik kiri. Dia bergabung dengan Lekra, sebuah tubuh seniman dan penulis yang secara longgar berafiliasi dengan partai komunis Indonesia, PKI.

Dia dipenjara pada tahun 1960 karena menyoroti diskriminasi dan penindasan terhadap minoritas Tionghoa di negara itu.

Ketika Jenderal Suharto berkuasa dalam sebuah kudeta pada tahun 1967, ia memerintahkan penangkapan massal ratusan ribu lawan, seringkali tanpa pengadilan. Pramoedya ditangkap pada tahun 1965 selama kudeta militer yang menyebabkan Suharto bangkit. Pramoedya kemudian dikirim ke pulau Buru yang terpencil pada tahun 1969 karena diduga memiliki hubungan dengan komunis.

Awalnya, dia tidak diberi pena atau kertas, jadi dia menceritakan kisahnya kepada sesama tahanan. Buku-buku itu diterbitkan setelah Pramoedya dibebaskan pada 1978. Esai dan surat-suratnya yang ditulis selama periode itu diterbitkan sebagai memoar, The Mute’s Soliloquy.

“Catatan yang menghantui tentang upaya penulis besar untuk menjaga imajinasinya dan kemanusiaannya tetap hidup,” tulis The New York Times Book Review tentang memoar itu.

Pramoedya dinominasikan untuk Hadiah Nobel untuk sastra beberapa kali dan dianugerahi dengan PEN Freedom to Write Award pada tahun 1988. Pada usia 74, Pramoedya menerima Hadiah Fukuoka untuk kontribusi luar biasa oleh orang Asia pada tahun 2000.

“Pram juga memiliki keunikan dalam keterikatan sastranya dengan wanita. Karyanya mengandung banyak potret kompleks dari berbagai jenis wanita dengan cara yang tak tertandingi oleh rekan-rekan sezamannya, yang menjadikan pria sebagai tokoh fiksi utama, dengan wanita dipinggirkan sebagai ibu stereotip, kekasih, dan pelacur, “kata profesor Benedict Anderson.